Kamis, 15 Oktober 2009

Analisis Yuridis Sosiologis Dampak Hukum Pemberlakuan UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tingkat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Malang)

ABSTRAK
Nama : MOCHAMAD SOEF
NIM : 04120021 / 04400265
PTAIS : Universitas Muhammadiyah Malang
Fakultas : Agama Islam
Jurusan : Syari’ah (Akhwal Asy-syakhsiyah) / Ilmu Hukum (Twinning Program)
Judul Sekripsi : Analisis Yuridis Sosiologis Dampak Hukum Pemberlakuan UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tingkat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Malang)




Perkawinan adalah merupakan salah satu ibadah Islam yang dilakukan sesuai tuntunan agama Islam yang termaktub dalam Al-qur'an dan Al-Hadist dan bertujuan menjalankan syariat Allah SWT, sehingga menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah serta di ridhoi oleh-Nya. Perkawinan kadangkala tidak sesuai dengan tujuan semula. Ketidak mengertian dan kesalah pahaman masing-masing pihak tentang peran, hak dan kewajibannya membuat perkawinan tidak harmonis lagi. Hal itu dapat memicu pertengkaran yang terus-menerus. Akhirnya suami atau istri melakukan tindakan kekerasan, melukai fisik atau psikis pasangannya. Inilah yang kemudian dinamakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kemudian diimplementasikan dalam UU RI No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT (penghapusan kekerasan dalam rumah tangga).
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis sosiologis, yaitu pendekatan penelitian yang mengkaji masalah hubungan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan tindakan yang berlawanan dengan hukum karena bersifat merusak, baik fisik, psikis serta ekonomi (Nafaqah). Penelitian di PA kota malang.
Perceraian masalah yang tidak asing lagi dewasa ini, seperti halnya perceraian di kota malang menunjukkan peningkatan prosentase perceraiandi kota malang. Jumlah perceraian tiga tahun akhir ini (2005-2007) cukup tinggi, cerai gugat 2131 kasus dan cerai thalaq 1127 kasus. Dalam data PA malang, ada tiga faktor tertinggi penyebab perceraian, adalah: a). Ekonomi, b). Tidak Tanggung Jawab, dan c). Ketidak Harmonisan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut hukum Islam adalah haram hukumnya, dikarenakan kedudukan suami dan istri seimbang dikarenakan saling melengkapi satu sama yang lain dalam rumah tangga. Dalam masalah pendidikan pada istri nuyuz (tidak taat pada suami) dalam masalah kebaikan, diperbolehkan sebagaimana dalam QS. An-Nisa' 04:34, akan tetapi tidak menimbulkan sakit secara fisik atau non fisik. Deskripsi kekerasan dalam hukum positif, adalah; a). Pasal 7 UU PKDRT jo Pasal 351-356 KUHP (penganiayaan, kekerasan fisik), b). Pasal 9, 47 dan 48 UU PKDRT jo Pasal 324-337 KUHP (kekerasan psikologis, kejahatan asusila), c). Pasal 5 UU PKDRT jo Pasal 442 KUHP (penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi), d). Pasal 470 KUHP (perampasan kemerdekaan).

Kata kunci : cerai gugat, cerai thalaq, kekerasan, nuyuz.

Selasa, 06 Oktober 2009

PROBLEMATIKA FILSAFAT HUKUM DAN PARADIKMA DIALEKTIK ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM

PROBLEMATIKA FILSAFAT HUKUM DAN
PARADIKMA DIALEKTIK ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM [1]

Oleh: Mochamad Soef, SH, S.HI.[2]

ABSTRAK
Filsafat hukum berguna untuk menjawab berbagai macam problematika dan masalah-masalah umum abstrak (hakekat, tujuan, ketaatan hukum), filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum di suatu negara. Filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya. Sebagaimana munculnya aliran-aliran (mazhab) dari para pakar filsafat hukum sehingga terjadi dialektika antara satu sama yang lainnya adalah sebagai berikut; Hukum Alam (Aristoteles, Aguinas Grotius), Formalisme (Austin, Kelsen), Mazhab Kebudayaan dan sejarah (Bentham, Ihering), Social jurisprudence (Ehrlich, Pound), Legal Realism (Holmes, Llewellyn, Frank).[3] Aliran-aliran (mazhab) dalam filsafat hukum tersebut sangat perlu dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafatnya.
Kata kunci: Problematika filsafat hukum, Paradikma dialektik aliran-aliran filsafat hukum.

I. PENDAHULUAN
Filsafat hukum adalah merupakan cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Filsafat adalah suatu pendasaran diri dan renungan diri secara radikal dan mendalam, ia merefleksikan terutama tentang segala yang ada, yaitu “hal ada” dalam keumumannya.[4] Sehingga menemukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang. Sesungguhnya manusia akan melihat dari kenyataan empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki. Filsafat hukum ingin mendalami “hakikat” dari hukum, dari hukum, berarti bahwa filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi dari suatu yang melandasinya. Dan hukum adalah sebagai suatu bagaian dari “kenyataan” dan dengan demikian memiliki sifat-sifat kenyataannya. Filsafat adalah filsafat hal merefleksi, suatu kegiatan berpikir dan juga memiliki sifat rasional, sehingga filsafat berada dalam dimensi dari komunikasi intersubjektif yang merupakan hasil dari pengembangan suatu hubungan-diskusi (diskursif) terbuka dari subjek-subjek dan antara yang lainnya sehingga filsafat tidak memiliki nilai-nilai pendirian dagmatik suatu kemutlakan yang harus diikuti.[5] Filsafat hukum sangat menentukan dengan kaitannya dengan pembentukan produk hukum, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).[6] Dalam filsafat hukum ada berbagai macam aliran-aliran atau mazhab dan terdapat dialektika antar aliran-aliran atau mazhab filsafat hukum yang membahas asal usul terciptanya hukum. Aliran-aliran (mazhab) dalam filsafat hukum tersebut sangat perlu dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafatnya. Penulis memandang perlu atas pembahasan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam filsafat hukum dan aliran-aliran filsafat hukum, sehingga penulis mengambil sebuah JUDUL; “Problematika Filsafat Hukum Dan Paradikma Dialektik Aliran-Aliran Filsafat Hukum”. Dengan RUMUSAN MASALAH; 1) Bagaimana uraian problematika dan permasalahan serta pertanyaan dalam filsafat hukum?. 2) Bagaimana paradikma dialektik dalam aliran-aliran filsafat hukum?.

II. PEMBAHASAN
A. Problematika Filsafat Hukum
Dalam filsafat hukum terdapat problematika dan permasalahan serta pertanyaan adalah sebagai berikut; masalah hukum dan kekuasaan, hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat, hukum dan nilai-nilai social budaya, apakah sebabnya orang menaati hukum?, apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?, etika da kode etik profesi hukum. Adapun uraian problematika dan permasalahan serta pertanyaan, sebagi berikut;[7]

i) Masalah hukum dan kekuasaan.
Dalam sebuah penerapan hukum disuatu negara maka diperlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya guna tercapainya efektifitas sebuah produk hukum, sehingga kekuasaan diperlukan guna penegakkan hukum yang bersifat memaksa. Maka baik buruk suatu kekuasaan, tergantung bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan sehingga dapat dilihat dari kebermanfaatannya atau disadari dalam kehidupan masyarakat. Unsur pemegang kekuasaan adalah merupakan faktor terpenting dalam penggunaan kekuasaan yang sesuai kehendak atau norma-norma dalam masyarakat. Penguasa yang baik memiliki berbagai sifat seperti jujur dan adanya pengabdian pada masyarakat. Sehingga diperlukan pembatasan dalam kekuasaan, kesadaran hukum masyarakat adalah pembatasan yang paling ampuh bagi pemegang kekuasaan. Hukum dan kekuasaan merupakan hubungan erat tidak dapat dipisahkan. Peperzak mengatakan hubungan hukum dan kekuasaan dapat diperlihatkan ada dua cara;[8] (a) pertama; telaah dkonsep sanksi. Legitimasi yuridis (pembenaran hukum) dalam sanksi sangat perlu sehingga system aturan hukum dapat berdaya guna serta berhasil dalam penerapannya diperlukan eksistensi kekuasaan (force) dengan dukungan tenaga. (b) kedua; telaah konsep penegakan kanstitusi. Penegaka konstitusi adalah merupakan penegakan procedur dalam pembinaan hukum dengan mengasumsikan digunakannya force, guna pelindung terhadap system aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakannya. Force dapat diwujudkan dalam betuk adalah sebagai berikut keyakinan moral masyrakat, consensus rakyat, karismatik pemimpin, kekuasaan merupakan kekuasaan.

ii) Hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat.
Roscoe Pound mengutarakan hukum adalah sebagai alat pembaruan dalam masyarakat dalam bukunya “An Introduction to the Philosophy of Low” (1954).[9] Dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia yaitu konsep ” Law as a tool of sacial engineering” yang merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal Realism. Konsep tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan filsafat budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum adalah “sarana” pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas jangkauannya dan ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan pembaruan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk sesuai dengan inti aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau (dapat dikatakan pencerminan narma-norma dalam masyarakat), guna pembaruan serta menguban sikap mental masyarakat tradisional kea rah modern. Sebagai contoh keharusan pembuatan sertifikat tanah dan lain sebagainya.

iii) Hukum dan nilai-nilai social budaya.
Hukum dan nilai-nilai social budaya mempunyai kaitan erat, sebagai mana dikemukakan perintis ahli antropologi hukum seperti Sir. Henry Maine,A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan R.H.Lowie di abad ini.[10] Dalam kaitan eratnya hukum dan social budaya masyarakat, maka hukum yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Bangsa kita pada saat ini dalam massa transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang tradisional ke nilai-nilai yang modern, akan tetapi masih banyak persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang dapat digantikannya. Berkenaan dengan hal tersebut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan kepribadian nasional, sikap intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak mempraktekkan nilai-nilai hetrogenitas bangsa Indonesia.[11]

iv) Apakah sebabnya orang menaati hukum?.
Hukum dapat ditaati oleh masyarakat dapat di telaah hukum tersebut ditaati karena dibuat oleh pejabat yang berwenang atau atas kesadaran masyarakat karena atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berkenaan pernyataan diatas tersebut, maka terdapat teori penting yang dapat ditelaah atas ketaatan masyarakat terhadap hukum, adalah sebgai berikut; (a) Teori Kedaulatan Tuhan/Teokrasi (Allah), yang bersifat langsung (Tuhan) atau tidak langsung (Penguasa adalah tangan Tuhan), (b) Teori Perjanjian Masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh para pakar filsafat hukum; Hugo de Groot (Grotius) (1583-1645) “Orang taat dan tunduk pada hukum oleh karena benjanji untuk menaatinya”, Thomas Hobbes (1588-1679), “Hukum timbul karena perjanjian pada waktu manusia dalam keadaan berperang guna terciptanya suasana damai antar mereka dan disusul dengan perjanjiaan semuanya dengan seseorang yang hendak diserai dengan kekuasaan yang bersifat absolute”, John Locke (1631-1705), “Kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi”, JJ Rousseau (1712-1778), “Kekuasaan yang dimiliki anggota masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan pada orang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu (pemerintahan demokrasi)” (c) Teori Kedaulatan Negara, Hans Kelsen menyebutkan bahawa “orang tunduk pada hukum karena wajib mentaatinya karena hukum adalah kehendak negara” (d) Teori Kedaulatan Hukum, hukum mengikat bukan kearena negara mengendakinya, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinya yaitu yang menjelma di dalam hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe).[12]

v) Apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?.
Membahas tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum sebagai jawaban atas pertanyaan, apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?. Kita mengenal berbagai teori kedaulatan sebagaimana diatas tersebut, maka seseorang dapat dilihat sebab mengapa mereka tunduk dan taat hukum. Adapun jawaban berbagai teori kedaulatan adalah sebagai berikut;[13]
a) Teori Kedaulatan Tuhan, mencoba menjawab orang dapat dihukum karena dia dapat merusak dan membahayakan serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Negara adalah badan yang mewakili Tuhan (Allah) didunia yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukumdi dunia.
b) Teori Perjanjian Masyarakat, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negara mempunyai otoritas negara yang bersifat monopoli pada kehendak masyarakat itu sendiri adanya kedamaian serta ketentraman dalam masyarakat.
c) Teori Kedaulatan Negara, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negaralah yang berdaulat sehingga hanya negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang yang melanggar ketertiban dalam masyarakat. Negara dianggap sebagai sesuatu yang mencipatakan peraturan-peraturan hukum.

vi) Dan etika dan kode etik profesi hukum[14]
Dalam arti teknis kegiatan profesi adalah merupakan kegiatan tertentu yang memperoleh nafkah dari kegiatannya berprofesi atau berkeahlian dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan financial tinggi pula, sebagai contoh yang termasuk kegiatan profesi hukum ada dua yaitu Hakim dan Advokat dapat juga dikatakan sebagai “a tool for sacial engineering” (Roscoe Pound). Adapun kritikal terhadap kegiatan profesi adalah bahwa kegiatan profesi menunjukkan kompleks okupasional yang disiplin intelektual yang meliputi humaniora, ilmu alam, dan ilmu social, terorganisasikan, serta system cultural (nilai-nilai) yang diolah oleh dan dalam kompleks okupasi (sistem sosial pekerja). Talcott Parsons, mencoba menjelaskan tentang krisis atas pengembanan kegiatan profesi memiliki tujuan pokok “essential goals” adalah sebagai berikut; untuk menghasilkan karya yang objektif “objective achievement” dan pengakuan (bukan hanya lambang akan tetapi berlaku dalam kontek lain, contoh berlakunya uang) atau rekognisi (kualitas professional sebagai sebuah pengakuan).
Uraian diatas tersebut kita dapat tarik benang merah kesimpulan bahwasannya profesi adalah sejumlah fungsi kemasyarakatan yang berjalan dalam suatu institusional, termasuk pengembangan serta mengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktiknya dalam bidang pelayanan rohani, teknonogi, kedokteran, hukum, informasi, dan pendidikan.

B. Dialektika Aliran-aliran Filsafat Hukum
Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa ini kita dihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, “Ibi ius ibi societas” dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut;[15]
i. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhab formalitas, Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran sociological yurisprudence dan Aliran realism hukum.
ii. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut; Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme, Teori hukum murni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
iii. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah sebagai berikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah, Sociological jurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum adalah sebagai berikut:

1. Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber dari Tuhan (Allah)[16], filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori plato/ aristoteles dan Thomas Aquino.
a) Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram.
b) Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif) teori dualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam)
c) Thomas Aquino : “Summa Theologica” dan “De Regimene Principum”. Membagi asas hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
i. Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak.
ii. Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu
d) Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentang kodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusun atas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu kualitet, kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalah lapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas, yaitu kebebasan normative etis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai abad pertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi) yaitu berisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.[17] Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.

2. Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang harus dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu;
i. Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
 Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada di luar bidang hukum.
 Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad pengaruhnya pada masyarakat.
 Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah.
 Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagi berikut;
 Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
 Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
 Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
 System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dan di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
ii. Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karena hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan sejarah.[18]
Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada dalam dunia “sollen” dan bukan dalam dunia “sain”. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya).[19] Dan John Austin mengemukakan ada dua bentuk hukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan Positif morality.

3. Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaan sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama sama dengan masyarakat.[20] Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki “volksgeist” jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang-undang.[21]
4. Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german) tapi berkembang di Amerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis.[22] Mengakui sumber hukum formal baik undang undang maupun bukan undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positif sosiologis dan August Comte yang orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.

5. Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya ( Law as a tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum [23] Wiliam James dan Dewey mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum, tetapi merupakan suatu gerakan “movement” dalam cara berfikir tentang hukum.[24]

6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
 Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mencerminkan nilai sosial budaya.
 Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mengandung sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja.

7. Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan mengutarakan pendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia). Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasar ekonomi bagi pemikiran hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.
Bentham dan Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.[25]

8. Aliran Mazhab Unpad Mazhab Negara oleh Friedrich Karl von Savigny : hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volkgeist).
Kekurangan terhadap alirah Mazhab Unpad Mazhab Negara kurang memberi arti penting terhadap perundang undangan dan kebaikannya terhadap aliran ini adalah menempatkan kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang undang yang tertulis.
III. PENUTUP
Setelah pembahasan makalah diatas mengenai beberapa persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di bidang filsafat hukum dan Aliran-aliran Filsafat Hukum (Problematika filsafat hukum dan dialektika aliran-aliran filsafat hukum) sehingga dapat ditarik benang merah simpulan. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul sekitar filsafat hukum adalah sebagai berikut; Masalah hukum dan kekuasaan, disuatu negara maka diperlukan suatu force untuk mendukungnya guna tercapainya efektifitas sebuah produk hukum sebagaimana hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat (Law as a tool of sacial engineering),Hukum dan nilai-nilai social budaya sangat erat kaitannya kaitannya, hukum yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga hukum tersebut cenderung akan ditaati oleh seseorang.
Dan etika dan kode etik profesi hukum, pengembangan serta mengajaran ilmu dan humaniora. Setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Bahwasannya inti dari paradikma dialektik aliran-aliran filsafat hukum tersebut diatas adalah merupakan penguraian-penguraian pendapat para pakar tentang hasil kajian antropologi sendiri telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, “Ibi ius ibi societas” dimana ada masyarakat disitu ada hukum adalah sebagai berikut; Aliran hukum alam , Aliran Positifisme, Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny , Sociological Yurisprudence (living law), Aliran Pragmatic Legal Realism, Aliran Antropolitica Yurisprudence, Aliran Utilitarianisme, Aliran Mazhab Unpad Mazhab Negara.

Footnotes
1) Makalah untuk dipresentasikan dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tentang: Beberapa persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di bidang filsafat hukum dan Aliran-aliran Filsafat Hukum, 5 Oktober 2009, Malang.
2) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, angkatan 2009.
3) Soerjono Soekanto, 2006, Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum, Bandung: Rajagrafindo Persada, hlm.40.
4) B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama, hlm.65.
5) Ibid, hlm.65-66.
6) Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cetakan keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.154
7) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan kesembilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.75-96.
8) Ibid., hlm. 77.
9) Ibid., hlm. 78.
10) Ibid., hlm. 80. Dan Lihat artikelnya: Antropology and law dalam The Social Science, 1927 dan Incorporated and Law dalam The Social Science, 1927 dan Incorporated Property in Primitive Society dalam Law Journal, 1928.
11) Ibid., hlm. 81.
12) Ibid., hlm. 84.
13) Ibid., hlm. 85-88.
14) Ibid., hlm. 88-96.
15) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju. hlm.53.
16) Ibid., hlm. 53
17) Ibid., hlm. 55.
18) Ibid., hlm. 59-60.
19) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007.,Op.cit., hlm.60.
20) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Op.cit., hlm.63.
21) Soerjono Soekanto, 2006, Op.cit., hlm.33.
22) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Op.cit., hlm.55-66.
23) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Op.cit., hlm.68.
24) Op.cit., hlm.68.
25) Op.cit., hlm.60 - 61.


DAFTAR PUSTAKA


B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama.

Darji Darmodiharjo, Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cetakan keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju.

__________________________, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan kesembilan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto, 2006, Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum, Bandung: Rajagrafindo Persada.

Sabtu, 03 Oktober 2009

REVITALISASI PEMBANGUNAN HUKUM POSITIF PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM


CORETAN ASPIRASI

REVITALISASI PEMBANGUNAN HUKUM POSITIF 
PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM [1]



Mochamad Soef, SH, S.HI [2]
0920101021


PASCASARJANA HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2009


                                                                      Abstrak
Dalam merevitalisasi pembangunan hukum  positif (nasional), filsafat hukum mempunyai peran yang sangat fital sekali, karena dengan filsafat hukum pelaksanaan pembangunan hukum positif akan dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Filsafat hukum menawarkan pilihan-pilihan yang tepat terhadap hukum yang akan dibangun. Dengan demikian maka hukum yang lahir dan produk pembangunan hukum nasional akan memiliki berbagai dimensi moral, dimensi keadilan, dimensi kepastian dan dimensi kemanfaatan.
Kata kunci: Pembangunan hukum positif, filsafat hukum.



A.    PENDAHULUAN
Filsafat hukum dan pembangunan hukum pada dasarnya merupakan dua sudut konsep yang berbeda, namun memiliki titik temu pada objek pembahasannya yang sama yaitu mengenai hukum. Filsafat hukum dan pembangunan hukum adalah dua konsep yang berbeda; filsafat hukum sebagai suatu disiplin keilmuan dan merupakan refleksi tentang landasan dari sebuah kenyataan. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional[3], sementara pembangunan hukum merupakan suatu kebijaksanaan yang bersifat nasional dalam bentuk pembangunan di bidang hukum.
Dalam merevitalisasi pembangunan hukum positif (nasional), yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah masalah kesadaran hukum masyarakat dan kebudayaan masyarakat tersebut harus ditanamkan dengan sesungguhnya sehingga masyarakat sadar atas pentingnya suatu kepatuhan hukum. Pembangunan hukum perlu diperhatikan juga sejarah dan struktur budaya Indonesia ini yang sangat majemuk, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat seutuhnya sesuai dengan norma masyarakat tersebut.
Untuk membahas tentang filsafat hukum tidak ada habisnya dan rumit, agar lebih mudah dalam pembahasan makalah ini maka “pembangunan” yang dimaksud diartikan secara sederhana sebagai upaya untuk mengubah (revitalisasi) sesuatu menjadi lebih baik dari sebelumnya.


B.     ARAH DAN TUJUAN PEMBANGUNAN HUKUM POSITIF
Telah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Sebagaimana amanat konstitusional pasa 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yaitu segala warga negara bersamaan kedudukan-nya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah disebutkan pula yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakanketertiban dunia berdasarkankemerdekaan.
Proses pembangunan hukum berkaitan erat dengan (i) proses pembuatan hukum atau perangkat peraturan perundang-undangan yang memungkinkan nilai-nilai normatif yang hidup di dalam masyarakat untuk diformulasikan sedemikian rupa dan kemudian dilegitimasikan oleh kekuasaan umum menjadi norma publik (law making process), (ii) proses pelaksanaan dan penegakan (law enforcement) yang memungkinkan hukum yang dibangun dan dikembangkan menjadi hidup dan dapat bekerja secara fungsional (living law in action), dan (iii) proses pembinaan dan pembangunan kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan hukum dan sistem hukum yang dibangun memperoleh dukungan sosial dalam arti luas (legal awareness).[4]
Supaya hukum memiliki kekuatan memaksa maka hukum harus diumumkan sebagaimana Aquinas mendefinisikan hukum adalah sebagai berikut; hukum adalah tatanan rasio yang berfungsi menegakkan kebaikan bersama yang dibuat dan diumumkan secara resmi oleh orang yang memiliki kepedulian pada komunitas.[1] Analisa bahwa pembangunan hukum berhasil atau tidaknya dalam suatu negara bermuara kepada pembentukan sikap dan kesadaran masyarakat terhadap hukum, karena dengan demikian masyarakat telah menikmati rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, pada esensinya pemerintah hadir dan berada demi kepentingan rakyat.[5]


C.     PENUTUP
Negara Indonesia menganut sistem hukum civil law, yang berarti lebih menekankan hukum sebagai undang-undang, harus melakukan pembaharuan hukum lewat pembaharuan peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang). Dalam merevitalisasi peraturan perundang-undangan ini harus memperhatikan kesadaran hukum  masyarakat. Dalam pemikiran filsafat hukum, sikap ini dianjurkan oleh Eugen Erlich, pemuka dari aliran Sociological Jurisprudence.[6] Yang menjadi konsepsi dasar pemikiran bidang hukum adalah apa yang disebut sebagai living law. Hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang merupakan kemauna dari masyarakat (inner order) yang mencerminkan nilai-nilai atau norma-norma yang hidup di dalamnya.
Masalah kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan persoalan yang sebenarnya agak rumit. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk atau pluralistik, yang mencakup perbagai kesadaran baik yang bersifat pribadi maupun kelompok. Inti dari suatu sistem hukum antara aturan utama (primary rules), kewajiban masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Maka pemerintah dalam pembangunan hukum harus memperhatikan norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia agar peraturan dapat berjalan dan dipatuhi dalam penerapannya kehidupan.
FOOTNOTES
[1] Makalah untuk dipresentasikan dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tentang Gagasan tujuan hukum: konsepsi dan gagasan tentang apa sebenarnya yang hendak dicapai oleh hukum, 29 September 2009, Malang.

[2] Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, angkatan 2009.

[3] B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama, hlm.1.

[4] Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, Jakarta: PT Balai Pustaka, hlm.29-30.
[5] Andre Ata Ujan, 2009, Membangun Hukum Membela Keadilan Filsafat Hukum, Cetakan Kelima, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, hlm.54.
[6] Ibid, hlm.55.

[6] Mochtar Kusumaatmadja, 2008, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, hlm.78




Minggu, 27 September 2009

Positivisme dan Idealisme Hukum dalam Filsafat Hukum Islam

 Positivisme dan Idealisme Hukum dalam Filsafat Hukum Islam


PENDAHULUAN

Perdebatan tak kunjung habis teori-teori sosial tentang peran hukum dalam perubahan masyarakat tidak seharusnya menghasilkan keraguan tentang keharusan melakukan perubahan mendasar atas sistem hukum dan pranata hukum untuk mengatur dan menunjang kehidupan masyarakat modern yang harus demokratis, transparan dan berkeadilan. Oleh karenanya tidak menjadi penting benar apakah hukum yang mengatur perubahan masyarakat sebagaimana diteorikan Roscoe Pond atau hukum mengikuti dengan rajin dari belakang perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.. Pada akhirnya jika sistem hukum dan pranata keadilan dibutuhkannya untuk menyelesaikan perbedaan nilai atau konflik kepentingan yang sudah ada disana, maka harus siap untuk digunakan oleh pencari keadilan dengan nilai-nilai kekiniannya yang diterima mayoritas anggota masyarakat melalui sistem perwakilan dan debat publik yang luas.
Yang menjadi sorot utama pada negara Indonesia selama ini sekaligus juga menjadi kelemahan. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru prioritas utama lebih ditujukan pada penyesuaian hukum Belanda dan hukum adat dengan nilai-nilai Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Di sela-sela usaha tersebut banyak lahir kebijakan publik yang menekankan perlindungan kelanggengan penguasa (kekuasaan) dan sekelompok tertentu yang berada dalam sistem perlindungan penguasa. Kondisi Indonesia saat ini mengalami masa transisi setelah munculnya reformasi Mei 1998. Kondisi ini juga diperparah dengan terjadinya keterpurukan hukum di Indonesia. Kendala utama untuk membebaskan dari kondisi ini terletak pada legal thought yang masih teramat legalistik-positivistik yang dianut oleh sebagian besar kalangan hukum Indonesia. Akibatnya teori hukum yang dipelajari dan yang kemudian ingin dijadikan andalan untuk menemukan solusi terhadap keterpurukan tersebut hanyalah sekedar ilmu hukum positif yang sangat sempit sehingga mustahil melahirkan solusi terhadap situasi yang serius ini. Pembahasan ini mencoba ingin meletakkan teori hukum pada posisi yang sebenarnya sehingga mampu menjadi alat yang efektif untuk membebaskan Indonesia dari keterpurukannya di bidang hokum khususnya.

PEMBAHASAN

A. Filosofi Positivisme Hukum dalam Filsafat Hukum Islam

Seiring dengan itu dapat dipahami bahwa orang-orang sudah beranggapan bahwa dunia hukum Indonesia dan dunia peradilan Indonesia sangat bobrok. Oleh sebab itu jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan kepada pengadilan yang unfair jelaslah hukum di suatu negara tidak akan pernah bersentuh dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah bahwa ide kepastian hukum yang sering digaungkan oleh kaum positivisme tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Oleh sebab itu perlu kiranya menghapus pemikiran yang selalu mengindentikkan hukum sebagai undang-undang saja. Secara ilmiah dapat dikatakan tidak benar bahwa kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat. Pemikiran positivism hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad ke 18. Sebelumnya masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law. Sebaliknya, positivisme kental dengan ide pendokumenan dan pemformalan hukum dalam wujudnya sebagai the statutoriness of law yang menurut Roberto M. Unger disebut bureaucratic law.
Dalam teori hukum legalistik-positivistik hukum berfungsi sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain positivisme telah melakukan penyederhanaan-penyederhanaan yang agak berlebihan. Dalam pandangan positivis hukum adalah suatu keteraturan. John Austin (1932) seorang eksponen utama positivism memandang bahwa menurut kaum positivisme, hukum tidak lain dari perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat di dalam masyarakat. Suatu perintah yang merupakan ungkapan dari keinginan yang diarahkan oleh otoritas yang berdaulat, yang mengharuskan orang atau orang-orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal. Perintah itu bersandar karena adanya ancaman keburukan yang akan dipaksakan berlakunya jika perintah itu tidak ditaati. Keburukan yang mengancam bagi mereka yang tidak taat adalah berwujud sanksi yang berada di belakang setiap perintah itu. Suatu perintah, suatu kewajiban untuk menaati dan suatu sanksi merupakan tiga unsur esensial hukum dalam pandagan positivism, tidak ada hukum selain hukum positif, yaitu hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Sistem hukum dalam paradigma positivis, tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu itu senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivisme berpandangan demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Demikianlah dalam kenyataannya, sistem hukum yang lebih menonjolkan kemerdekaan individu daripada pencarian kebenaran dan keadilan telah banyak memakan korban baik di negara Barat maupun di negara-negara yang menganut positivisme. Sebagai contoh di Amerika Serikat puluhan putusan pengadilan kemudian terbukti sebagai putusan sesat baik putusan-putusan pengadilan yang telah menghukum orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah maupun putusan-putusan pengadilan yang telah membebaskan orang-orang yang sebenarnya harus dipidana.

B. Filosofi Idealisme Hukum dalam Filsafat Hukum Islam

Pasangan pilihan ketiga yang telah mempengaruhi perkembangan fiqh adalah pilihan antara idealisme dan realisme, antara cita-cita dan kenyataan. Kita mengetahui dari sejarah, bahwa kitab-kitab fiqh itu pada umumnya ditulis para fuqaha, jurist, atau para ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di pengadilan agama. Bahkan kita mengetahui banyak fuqaha menolak jabatan qadi atau hakim, meskipun untuk itu mereka harus masuk penjara. Ini berarti sejarah telah membuktikannya fiqh pada umumnya dirumuskan para teoritisi belakang meja daripada praktisi di lapangan. Sebagai akibatnya, fiqh yang dihasilkannya lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal daripada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal yang maksimal daripada minimal. Akibat lain dari pilihan atas idealisme daripada realisme itu, ialah: fiqh semakin hari semakin jauh dari kenyataan masyarakat. Ini telah terjadi pada saat kitab fiqh itu dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote dari masyarakat yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun tempat.
Sepertihalnya, Kita mengetahui terdapat berbagai madzhab dalam fiqh. Sekarang kita melihat madzhab-madzhab itu sebagai aliran-aliran dalam hukum Islam, tapi dulunya lebih merupakan ekspresi lokal. Demikianlah perkembangan hukum Islam. Orang harus melakukan pilihan antara pandangan yang mengatakan hukum Islam itu universal, dengan pandangan yang mengatakan hukum Islam itu partikular . Kita mengetahui dalam sejarah, bahwa pandangan pertama telah mendominasi benak kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai hasilnya fiqh selalu resisten terhadap perubahan. Bagi kita kaum Muslim Indonesia, lebih ironis lagi. Hukum Islam yang dianggap universal itu sebenarnya adalah produk fuqaha dari suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu masa tertentu di masa silam. Kitab-kitab fiqh yang kita pelajari sekarang di Indonesia ini, dan sebagian diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah kitab-kitab fiqh yang ditulis lima atau enam abad yang lalu, dan merupakan ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Jadi, selain sudah tua, kitab-kitab fiqh yang kita pelajari itu mengandung ekspresi lokal di Timur Tengah sana. Artinya kitab-kitab fiqh itu partikularistik. Tapi justru kitab-kitab yang dipandang sebagai hukum Islam itu di Indonesia dipandang universal tadi. Begitulah, mengidentikkan fiqh dengan hukum Islam yang universal, telah mengakibatkan mandeknya perkembangan fiqh, seperti yang kita saksikan selama ini.

Langkah-langkah Reaktualisasi


Uraian di atas dapat disimpulkan: Kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini adalah karena kekeliruan menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas, atau sekurang-kurangnya kekeliruan dalam menentukan bobot masing-masing pilihan itu. Fiqh telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada sebagai ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita daripada sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. Fiqh juga telah memilih stabilitas daripada perubahan. Semua itu, telah mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini. Jika kita hendak mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam bidang hukum, dan lebih khusus lagi dalam bidang fiqh, maka kita harus membalik pilihan-pilihan tersebut di atas. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu dan Fiqh harus dipandang sebagai varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek kata, fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya karena toh pada akhirnya fiqh itu hanya menyangkut soal cabang dari agama.
Tapi untuk melakukan pilihan-pilihan yang tepat diperlukan beberapa syarat, sedikitnya ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas. Dan ketiga, memahami faktor-faktor sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.
Maka kita dapat menarik sebuah benang merah dari penjabaran diatas yang berkenaan dengan kritik positivisme juga datang dari berbagai kalangan, ada yang bersifat teoritis, ada juga yang praktis. Kritikan yang bersifat teoritis antara lain: Pertama,. Tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat. Kebiasan-kebiasaan yang diperkenalkan oleh pengadilan, sama sekali tidak merupakan ungkapan keinginan pihak yang berdaulat. Kedua. Bahwasannya hukum lebih mendekati hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban. Banyak hukum yang tidak membebankan kewajiban dan juga tidak membutuhkan penghukuman. Ada pendelegasian kekuasaan atau memungkinkan undang-undang memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk menyelesaikan persengketaan atau kekuasaan bagi para legislator dalam membuat undang-undang ataupun membolehkan persorangan menuangkan keinginan atau mengambil bagian dalam pembuatan kontrak. Hukum perkawinan tidak memerintahkan seseorang untuk kawin. Ia hanya mengemukakan kondisi-kondisi dimana orang-orang boleh kawin dan prosedur yang harus mereka ikuti agar perkawinan mereka menjadi sah. Ketiga. Rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati hukum. Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti respek terhadap hukum simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi. Rasa takut hanya motif tambahan. Hukum juga di August 16, 2006 akut untuk ditangkap atau dihukum. Keempat. Definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan terhadap Hukum Tata Negara, karena Hukum Tata Negara tidak dapat digolongkan dalam perintah yang berdaulat.

SOSIOLOGI HUKUM


SOSIOLOGI HUKUM


Pengertian Sosiologi  Hukum 
Soerjono Soekanto: Cabang ilmu pengetahuan yang secara teoritis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial. 
Satjipto Rahardjo: Pengetahuan yang mempelajari perilaku masya dlm kontek social. 
R. Otje Salman: Mempelajari hubungan timbale balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial secara empiris analisis. 
H.L.A. Hart: Konsep hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan pada kewajiban dlm gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasya.

***Inti dari suatu system hukum antara aturan utama (primary rules), kewajiban masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup dan aturan tambahan (secondary rules);
 a) Rules of recognition (aturan utama sangat diperlukan berdasarkan hierarki urutannya);
 b) Rules of change (mengesahkan aturan pertama diberlakukan);
c) Rules of adjudication (memberikan hak perorangan untuk menentukan sanksi pada suatu peristiwa peraturan utama dilanggar);

***Yang melatar belakangi lahirnya sosiologi hukum: Filsafat Hukum, yang menyebabkan lahirnya filsafat hukum tersebut adalah aliran positivisme (stratifikasi derajat hukum dimaksud adalah yang paling bawah putusan badan pengadilan, atasnya UU dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas grundnorm (dasar/ basis social salah satu objek bahasan dlm social hukum)).

HIERARKI  HUKUM



GRUNDNORM
KONTITUSI
UU & KEBIASAAN
PUTUSAN B.PENGADILAN

Aliran-aliran filsafat hukum mendorong tumbuh & berkembangnya sosiologi hukum:
  1. Mazhab sejarah: hukum tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
  2. Aliran Utility: hukum harus bermanfaat bagi masya, guna tercapainya kehidupan bahagia.
  3. Aliran Sociological Jurisprudence: hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup dlm masya.
  4. Aliran Prakmatic Legal Realism:  Law as a tool of social engineering.

Ilmum Hukum: Hukum sebagai gejala social, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi hukum. Hans Kelsen menganggap hukum sebagai gejala normative. 
Sosiologi yg berorentasi Hukum: bahwa dlm setiap masya, selalu ada solidaritas organis (masya.modern, hukum bersifat restitutif seperti hukum perdata) dan solidaritas mekanis (masya. Sederhada, hukum yg bersifat represif seperti hukum pidana). Max Weber, ada 4 tipe ideal, a).irasional formal, b).irasional material, c).rasional material (berdasarkan konsep2 hukum), d).rasional material.

LETAK DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM
2 Hal yaitu sebagai berikut:
  1. Dasar-dasar sosial dari hukum/ basis social dari hukum. Hukum nasional berdasarkan sosialnya = Pancasila: gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan.
  2. Efek-efek hukum sebagai gejala2 sosial.
    • UU No.1/1974: perkawinan thdp gejala kehidupan rumah tangga.
    • UU No.22/1997 & UU No.23/1999: Narkotika & Narkoba thdp gejala konsumsi obat-obatan terlarang dan semacamnya.
    • UU No.19/2002: Hak Cipta thdp gejala budaya.
    • UU mengenai Pemilihan Presiden secara langsung thdp gejala politik.

    PENDEKATAN DLM SOSIOLOGI HUKUM
    1.      Pendekatan Instrumental;
    suatu disiplin ilmu teoritis yg mempelajari keteraturan dari fungsinya hukum. Tahap ini adalah merupakan tahap penengah dari perkembangan  atau pertumbuhan sosilogi hukum, akan tercapai bila adanya otonomi dan kemandirian intelektual.
    2.      Pendekatan Hukum Alam & Kritikan thdp Pendekatan Positivistik;

    KARAKTERISTIK KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM
    Fenomena Hukum yang mewujudkan;
    1.      Deskriptif, menjelaskan praktik-praktik hukum yang dibedakan menurut UU, penerapan dlm pengadilan dan mempelajari bagaimana praktik-praktik pada masing-masing bidang hukum.
    2.      Menjelaskan, penjelasan mengapa praktik hukum terjadi dlm masya sebab musabab dan factor, latar belakang, praktik hukum terjadi.
    3.      Memprediksi, suatu hukum sesuai atau tidak sesuai dengan masya tertentu (perbedaan yang mendasar antara pendekatan yuridis normative = tunduk pada hukum, antara yuridis empiris atau sosiologi hokum = menguji dgn data empiris, kenyataan hukumdalam masyarakat).
    4.      Sosiologi hukum tdk melakukan penilaian thdp hukum. Akan tetapi perhatiannnya adalah hanyalah pemberian penjelasan thdp objek fenomena hukum yang dipelajari dlm masyarakat.

    PERBEDAAN YURIDIS NORMATIF DAN YURIDIS EMPIRIS
    Perbandingan
    Yuridis Empiris
    Yuridis Normatif
    Objek
    Sociological Model
    Jurisprudence Model
    Fokus
    Social Struktur
    Analisis Aturan (rules)
    Proses
    Perilaku (behavior)
    Logika (logic)
    Pilihan (purpose)
    Ilmu Pengatahuan (scintific)
    Praktis (practical)
    Tujuan (goal)
    Penjelasan (explanation)
    Pengambilan Keputusan (decision)

    HUKUM SEBAGAI SOSIAL KONTROL
    Bahwa social control/ social engineering diartikan sebagai suatu proses, baik yg direncanakan ataupun yang tidak direncanakan, yg bersifat mendidik, atau mengajak bahkan memaksa warga masya agar mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Yang berupa pemidanaan, kopensasi, terapi, maupun konsiliasi. Patokan suatu pemidanaan adalah larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya.

    HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MENGUBAH MASYARAKAT
    Hukum berfungsi sebagai control social sebagai pengubah masya menjadi social engineering yaitu melalui hakim sebagai interpretasi dalam mengadilan kasus yg dihadapinya secara seimbang “balance”. Dengan memperhatikan beberapa hal, sebagai berikut:
    • Studi tntng aspek social yg actual dari lembaga hukum.
    • Tujuan pembuatan peraturan yg efektif.
    • Studi tntng sosiologi dlm mempersiapkan hukum.
    • Studi tntang metodologi hukum.
    • Sejarah hukum.
    • Arti penting tentang alasan2 dan solusi dari kasus2 individual yg berisikan keadilan abstrak dari hukum yg abstrak pula.

    HUKUM DAN KEKUATAN-KEKUATAN SOSIAL
    Empat kekuatan social itu adalah
    1)      Kekuatan Uang
    Sejak bangsa Indo.melaksanakan pembangunan nosional yg pada pokoknya merupakan pembangunan ekonomi, terjadi suatu proses perubahan social yg tidak kunjung berhenti di dalam masyarakat kota.
    2)      Kekuatan Politik
    Di dlm system demokrasi di Indonesia,
    3)      Kekuatan Massa
    4)      Teknoloigi Baru